Sabtu, 22/9/2001
PTS Di era Otonomi Kelas Ekstensi Menjadi Saingan

Padang,—Otonomi perguruan tinggi menimbulkan kegelisahan. Betapa tidak, ketika biaya pendidikan semakin mahal dan subsidi dari pemerintah diperkecil, jumlah mahasiswa malah semakin berkurang. Padahal selama ini, selain bantuan dari pusat, dana SPP dari mahasiswalah yang diandalkan untuk biaya operasional pendidikan. Hal tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat atau pengelola perguruan tinggi negeri (PTN), pengelola perguruan tinggi swasta (PTS) mengaku malah jauh lebih marasai karena kalah bersaing dan ditinggal oleh calon mahasiswanya.

Menurut pengakuan Prof. Dr. Yunazar Manjang, salah satu solusi untuk mengatasi tingginya biaya pendidikan di beberapa PTS, sejauh ini, hanya bisa diatasi dengan menaikkan jumlah pungutan biaya kuliah (SPP) dari mahasiswa. Sedangkan pada PTN, selain menaikkan SPP, mereka punya kesempatan untuk membuka kelas ekstensi (kelas sore) bagi mahasiswanya, yang tentu saja biayanya jelas lebih mahal.

Unand, membuka kelas ekstensi untuk beberapa fakultas seperti Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum dan Fakultas Teknik dan FMIPA. Demikian juga dengan UNP. IAIN Imam Bonjol-pun khabarnya akan membuka kuliah ekstensi untuk program diploma IV Jurnalistik Islam.

Kehadiran kelas ekstensi, sebagai jalur alternatif bagi mahasiswa yang tidak bisa mengikuti kuliah reguler pada PTN, menambah kerisauan tersendiri bagi pihak PTS. Mereka merasa terancam dengan dibukanya kelas-kelas tersebut.

“Kalau pembukaan kelas ektensi tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku sih tidak masalah. Tetapi ini banyak yang menyalahi peraturan,” ujar Irman lagi menambahkan. Apa yang dirisaukan Irman ini mungkin ada benarnya. Menurut Yunizar, kelas ekstensi, sesuai peraturan yang dikeluarkan pihak Dirjen Dikti, hanya dibenarkan untuk mahasiswa yang telah bekerja atau tidak memenuhi syarat mengikuti UMPTN untuk kuliah secara reguler di PTN. Sedangkan untuk mahasiswa murni dan memenuhi syarat tidak dibenarkan.

Bayangkan saja, walaupun pihak STIE Perbankan ini telah membuka gelombang pemdaftaran untuk kedua kalinya, namun jumlah mahasiswa yang mendaftar pada perguruan tinggi tersebut tetap minim. “Pokoknya masih jauh dari target lah,” ujarnya tanpa mau menyebutkan jumlah pastinya. Tetapi menurut salah seorang ‘orang dalam’ di PTS tersebut, jumlah mahasiswa yang resmi terdaftar sampai pekan ini baru berjuamlah 35 orang. Sebuah angka yang sangat kecil bila dibanding penerimaan pada PTN atau PTS lain yang ada di daerah ini.

Nasib serupa juga dialami oleh PTS besar seperti Universitas Bung Hatta, yang tahun ini membuka pendaftaran sampi gelombang ke dua. Padahal sebelumnya itu tak pernah mereka lakukan.

Yunazar, yang juga menjabat sebagai Koordinator Kopertis Wilayah X, dalam wawancaranya dengan Mimbar Minang mengakui bahwa kondisi kurangnya mahasiswa yang mendaftar di perguruan tinggi ini tidak hanya menjadi persoalan PTS, “PTN pun mengalami goncangan dan kekurangan mahasiswa kok,” ujarnya. Tetapi Yuniazar tidak membantah bahwa kehadiran kelas ekstensi tersebut telah mempengaruhi jumlah mahasiswa yang mendaftar di PTS-PTS.

“Telah banyak komplen (keluhan) yang kita terima dari pengelola PTS tentang pembukaan kelas ekstensi yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Dikti. Tapi kita tidak bisa berbuat banyak, karena yang berkuasa dalam hal ini adaalah Dikti itu sendiri. Lagi pula kita belum mengadakan penyelidikan khusus tentang kasus ini,” ujarnya.

Irman mengakui bahwa krisis ekonomi merupakan faktor utama menurunnya jumlah mahasiswa di PTS, yang memang biaya pendidikannya jauh lebih mahal dibanding kuliah di PTN. Tetapi pengaruh munculnya kelas ekstensi juga besar. “Dari segi biaya, mungkin saja kelas ini bisa berimbang dengan biaya pendidikan di PTS, namun kelebihannya mereka bisa mengantongi ijazah negeri dan bisa mendapatkan kemudahan seperti layaknya mahasiswa reguler PTN lainnya,” ujar Irman.

Bagaimana dengan kemungkinan merjer antar PTS yang membuka parogram pendidikan sejenis. “Mungkin itulah solusi akhir yang cukup memungkinkan nantinya,” ujar Irman. Melihat kondisi di kampusnya, Irman mengatakan tidak akan menutup kemungkinan kalau ada tawaran untuk merjer dari PTS lain.

Yunaizar juga berpendapat bahwa peluang merjer itu mungkin saja dilakukan. Apalagi mengingat banyaknya jumlah PTS di wailayah ini. “Persoalannya sekarang apakah ada yang bersedia melakukan hal itu,” ujarnya.

Ancaman Riau

Kebijakan pemerintah provinsi Riau yang seakan membatasi masyarakatnya untuk belajar ke Sumbar juga menjadi salah satu sebab kurangnya jumlah mahasiswa yang kuliah di 58 PTS yang ada di daerah ini.

“Saya mendengar ada pernyataan pihak Pemprov Riau yang katanya tidak akan menerima pegawai yang menggunakan ijazah dari luar provinsinya untuk bekerja di daerah tersebut. Kalau pernyataan ini benar adanya, tentu saja saja membuat banyak warga sana yang keberatan kuliah di sini. Bahkan mungkin saja malah warga Sumbar yang balik berhijrah untuk kuliah di sana. Padahal selama ini mahasiswa Riau termasuk yang menjadi incaran PTS di sini,” papar Irman. Akibat kebijakan tersebut, menurut perkiraan Irman, jumlah mahasiswa Riau yang kuliah di Sumbar menurun sampai 20 persen.

Yunazar tidak membantah kenyataan ini. Sebagai koordinator kopertis yang membawahi tiga wilayah, Sumbar, Riau dan Jambi, menurutnya pada era otonomi ini wajar saja setiap provinsi mengeluarkan kebijakan tersendiri untuk kepentingan daerahnya masing-masing.

Perbaikan mutu

Akibat ketatnya persaingan dalam menjaring mahasiswa, banyak PTS yang mengabaikan mutu pendidikan.

“Selama ini PTS masih berorientasi bisnis. Mencari keuntungan dengan mengharapkan dana SPP mahasiswa. Dengan kondisi seperti ini, wajar kalau terjadi persaingan untuk mendapatkan mahasiswa,” aku Yunazar. Memang pada dasarnya menurut Yunazar, PTS dibenarkan memungut SPP sebesar 2 kali lipat dibanding SPP yang dikenakan untuk mahasiswa di PTN terdekat, ”Namun itu standar maksimal. Dan jangan dijadikan alasan pembenaran menaikkan SPP secara tidak manusiawi,” tegasnya.

Idealnya, menurut Yunazar, hanya 40 atau 60 persen dari sekian banyak calon mahasiswa yang boleh diterima dalam tiap kali seleksi ujian masuk PTS.

Sedangkan untuk PTN hanya dibatasi sampai 16 persen. “tetapi kenyataannya sekarang ada PTS yang malah menerima 100 persen. itupun masih ditambah dengan penerimaan gelombang kedua,” ujarnya. Inilah gambaran dari wajah pendidikan tinggi kita. (disadur dari mimbar minang)


Kembali ke atas